Referat Hipertensi Jas Putih (White Coat Hypertension)
WHITE COAT HYPERTENSION
A.
DEFINISI
White Coat Hypertension (WCH,
Hipertensi jas putih atau hipertensi klinis terisolasi) adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan pasien yang memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi dari normal saat diperiksa di rumah sakit, tetapi tekanan darahnya akan
normal ketika kembali melakukan kegiatan sehari-hari. Seperti banyak definisi
kerja lainnya dalam kedokteran klinis, hipertensi jas putih adalah definisi
yang dimaksudkan untuk membantu dokter dalam memperbaiki stratifikasi risiko
kardiovaskular - langkah penting dalam manajemen pasien dengan hipertensi
esensial - dengan mengidentifikasi strata penderita penyakit kardiovaskular
berisiko rendah di masa depan karena tekanan darah sehari-hari yang normal di
luar rumah sakit. (1)
Menurut definisi, hipertensi jas putih
(WCH) didefinisikan peningkatan menetap tekanan darah yang diukur di lingkungan
medis (Rumah Sakit). Hal ini dianggap sebagai kondisi yang dihasilkan dari
respon stres yang dipengaruhi oleh tenaga medis. Secara khusus, ditentukan
ketika tekanan darah saat diukur di rumah sakit lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan
pengukuran tekanan darah diluar dari rumah sakit kurang dari 135/85 mmHg.(2)
Studi
yang dilakukan oleh Mancia dan rekannya menunjukkan jumlah kenaikan tekanan
darah transien pada pasien yang berhubungan dengan adanya dokter berkisar 4
mmHg hingga 70 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan 1 mmHg hingga 36 mmHg
untuk tekanan darah diastolik. (1)
Berdasarkan JNC 7, hipertensi diklasifikasikan
sebagai berikut;(4)
Klasifikasi TDS
(mmHg)
TDD (mmHg)
Tekanan Darah
|
Normal
< 120
dan < 80
|
Prahipertensi 120 -
139 atau 80 – 89
|
Hipertensi derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99
|
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
|
B.
PREVALENSI
Fenomena jas putih telah diteliti
secara ekstensif pada pasien dengan hipertensi esensial dan populasi umum,
hanya beberapa studi telah melibatkan orang-orang dengan penyakit ginjal
kronis. Dalam populasi ini, estimasi prevalensi WCH sekitar 20-25%.(2)
Pada anak-anak, terdapat estimasi prevalensi 10%
hingga 60%, tapi itu tergantung pada metode diagnosis. Seperti pada orang
dewasa, WCH lebih sering terjadi pada anak-anak dengan pengukuran tekanan darah
yang sedikit meningkat di rumah sakit. (2)
C.
PATOFISIOLOGI
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya hipertensi.
Dikutip dari kepustakaan 4
Pengendalian tekanan darah dan
patofisiologi hipertensi masih tidak sepenuhnya dipahami. Hal ini telah menjadi
semakin jelas bahwa hipertensi adalah gangguan poligenik dengan penetrasi
variabel dan fenotipe dimana lingkungan mungkin memiliki peran modifikasi.
Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan interaksi yang kompleks dari beberapa
faktor genetik dan lingkungan yang memiliki peran yang bermakna pada pasien
tertentu. Faktor predisposisi keluarga yang kuat sebagai pencetus hipertensi
menyebabkan kebanyakan patofisiologi hipertensi merupakan ekspresi dari defek
pewarisan dalam regulasi tekanan darah. Mungkin ada beberapa subtipe mekanistik
hipertensi "primer". Hal ini juga kemungkinan bahwa beberapa
mekanisme normal terdapat dalam setiap individu. Meskipun beberapa mutasi gen
tunggal telah ditemukan, prevalensi ini pada populasi hipertensi masih jarang.
sangat jarang untuk dapat mengidentifikasi mekanisme etiologi spesifik dalam
kasus tertentu. Meskipun demikian, beberapa elemen memiliki elaborasi dan
memberikan dasar yang rasional untuk evaluasi dan terapi. (3)
Kepribadian
tipe A, depresi, dan kecemasan memiliki hubungan dengan peningkatan risiko
hipertensi. Sebagian besar pengaruhnya disebabkan oleh hormon katekolamin. Dalam studi jangka
panjang menetukan faktor psikologis penyebab hipertensi, diduga pemicu
psikososial, urgensi waktu atau ketidaksabaran dan permusuhan ditemukan secara
independen berkorelasi dengan risiko menderita hipertensi jangka panjang.
Selain itu, persaingan, kecemasan, dan depresi menjadi faktor penyebab lainnya.
(3)
D.
DIAGNOSIS
Metode Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) merupakan baku emas
untuk membedakan WCH dari hipertensi persisten. Namun, dengan menggunakan ABPM untuk
semua kasus yang dicurigai WCH membutuhkan biaya yang mahal. Metode pengukuran
tekanan darah di rumah atau Home Blood
Pressure Monitoring (HBPM) sering menjadi pilihan yang tepat menggantikan
ABPM untuk monitor tekanan darah di luar rumah sakit. Peningkatan tekanan darah
pada metode ABPM dan HBPM dianggap menjadi prediktor untuk mengetahui kerusakan
organ target seperti hipertrofi ventrikel kiri atau timbulnya penyakit ginjal
kronis.(2)
Definisi
hipertensi pada ABPM tergantung berapa lama pengukuran tekanan darah dilakukan.
Hipertensi ditentukan pada saat tekanan darah pasien mencapai 135/85 mmHg lebih
dari 24 jam, 140/90 mmHg jika hanya diukur pada siang hari, atau lebih tinggi
dari 125/75 mmHg jika hanya diukur saat tidur. Pengukuran tekanan darah
biasanya dilakukan selama 24 sampai 48 jam. Selama siang hari perangkat
biasanya melakukan pengukuran setiap 15 sampai 20 menit dan saat tidur setiap
30 sampai 60 menit.(2)
E.
KOMPLIKASI
Studi yang dilakukan di Jepang dengan
melibatkan 128 penderita WCH dan dibandingkan dengan 649 orang normotensif yang
difollow up selama 8 tahun menunjukkan, risiko menjadi penderita hipertensi
menetap lebih tinggi pada penderita WCH (46,9%) dibandingkan dengan yang
normotensif (22,2%). Jadi, hasil penelitian yang dilakukan oleh para dokter di
Jepang tersebut menunjukkan bahwa WCH merupakan kondisi transisi menjadi
hipertensi menetap di kemudian hari dengan prognosis kardiovaskular yang buruk.(5)
Sebuah studi meta analisis
menggabungkan 14 studi sebelumnya dengan jumlah responden sebanyak 29.100 orang
(13.538 dengan normotensif, 4.806 dengan WCH dan 10.756 dengan Hipertensi
menetap) dengan rata-rata usia 59 tahun dan di follow-up selama 8 tahun. Individu dengan WCH memiliki risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang lebih besar tapi tidak memiliki
perbedaan yang bermakna dari penyebab kematian dan angka strok dibanding yang
normotensif.(6)
Peneliti di Eropa menemukan bahwa
pasien dengan tanda-tanda awal hipertensi tanpa memiliki riwayat medis lain
yang menunjang menunjukkan terjadinya penebalan tunika intima-media arteri
karotis lebih besar dan berkembang lebih cepat dibandingkan dengan yang
normotensif. Pola ini yang menunjukkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular
dan sebagai hasilnya mendukung kontrol ketat tekanan darah. European Society of Cardiology / European
Society of Hypertension juga mendukung pemikiran ini. Yang menarik ketika
dibandingkan orang yang bertekanan darah normal, kadar homosistein plasma cukup
tinggi dan indeks massa ventrikel kiri cukup besar pada mereka yang menderita
WCH. (2)
Penderita
WCH akan menyebabkan kerusakan organ target. Banyak studi penelitian yang
menunjukkan progresifitas WCH hingga menyebabkan kerusakan organ target
kardiovaskular. Terdapat hubungan yang bermakna antara marker biokimia fibrosis
miokard (TGF-B1 dan prokolagen tipe I propeptide, PIP) dan indeks disfungsi LV
(LVH, disfungsi diastolik). Mekanisme yang mungkin menyebabkan risiko meningkatnya
komplikasi kardiovaskular pada WCH meliputi: peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatik, poor sleep quality, resistensi
insulin, stres oksidatif dan disfungsi endotel. Referensi lain menunjukkan
adanya remodelling dari ventrikel
kiri. Bahkan pada anak-anak dengan WCH, indeks massa ventrikel kiri dijadikan penengah
antara individu yang normotensi dan hipertensi resisten. (2),(7)
F.
PENATALAKSANAAN
Baru-baru ini, dalam sebuah studi selama
10 tahun melibatkan 3200 responden penduduk Itali, pasien yang awalnya
didiagnosis dengan WCH memiliki 2,51 odds
ratio (1,79-3,54, p <0,0001) berkembang menjadi hipertensi resisten. Hal
ini mengisyaratkan bahwa WCH bisa menimbulkan risiko lebih besar menjadi hipertensi
resisten. Meskipun beberapa penelitian telah melaporkan kemungkinan peningkatan
risiko kejadian kardiovaskular ke depannya, misalnya, stroke, dalam kelompok
dengan WCH, konsensus yang menjelaskan bagaimana pencegahan kondisi tersebut
masih sangat kurang. (2)
Saat ini, pengobatan WCH pada umumnya
masih kontroversial, dan beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dapat semakin
menurunkan tekanan darah pasien di luar rumah sakit. Dalam studi INVEST
(International Verapamil SR-Trandolapril Study) menunjukkan bahwa menurunkan (Tekanan
Darah Diastolik) TDD <83 mmHg dikaitkan dengan tingginya tingkat kematian
dan kejadian koroner. Padahal hal tersebut berlawanan dengan penundaan terapi yang
benar-benar dapat mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Harus
diakui bahwa "untuk benar-benar menunda terapi pada pasien dengan
WCH" masih sangat diperdebatkan. Sebuah uji kontrol secara acak diperlukan
dimana pasien dengan WCH secara acak diberikan pengobatan untuk tekanan darah
mereka saat di rumah sakit dibandingkan dengan yang tidak diberikan pengobatan
yang selanjutnya dilakukan pengukuran tekanan darah ambulatori.(2)(9)
Dalam sebuah jurnal yang dikeluarkan oleh Canadian Journal of Cardiology pada
tahun 2015, dr. David Spence dari Stroke
Prevention and atherosclerosis Reasearch Centre, Western University,
Kanada, menjelaskan mengenai dilema dalam diagnosa dan manajemen WCH. Spence
membuat sebuah meta analisis dari penelitian mengenai WCH sebelumnya dan
mengemukakan bahwa penderita WCH membutuhkan pengobatan setelah dikonfirmasi
dengan ABPM untuk mencegah peningkatan progresivitas risiko penyakit
kardiovaskuler terutama menjadi hipertensi menetap. Pasien WCH yang ditunda
pengobatannya diharapkan untuk lebih diperketat follow up-nya. Saran minimal yang diberikan kepada penderita WCH
adalah pengobatan non farmakologi seperti pembatasan garam, menghindari
licorice (tanaman akar manis yang tumbuh di Eropa), dekongestan, NSAID, dan
intake ethanol. Diperlukan tindakan evaluasi setidaknya pengukuran ABP pertahun,
pengukuran massa ventrikel secara periodik. Doxazosin sebagai agen alfa blocker
terbukti dapat menurunkan gejala WCH sesuai studi yang dilakukan oleh Pickering
et al. sedangkan amlodipin yang memiliki efek menurunkan tekanan darah dengan
menghambat pengeluaran kalsium, memiliki hubungan dengan peningkatan
norepinefrin yang merupakan substansi yang dihasilkan saat dalam keadaan stres
mental.(8)
Skema evaluasi penatalaksanaan penderita
dengan WCH.
Dikutip dari kepustakaan 10
Dikutip dari kepustakaan 10
DAFTAR
PUSTAKA
1. Verdecchia P, et al. European
Heart Journal (2002). Properly Defining White Coat Hypertension.
106–109 doi:10.1053/euhj.2001.2657, available online at https://lirias.kuleuven.be/bitstream/ 123456789/276362/2/02-01-R.pdf (accessed on April 24th, 2016)
2. Madhav V,
Vijaykumar M. 2012. Chapter 67 White-coat hypertension. Nephrology Secrets.
Elsevier.
3. Goroll,
Allan H., Mulley, Albert G. 2006. Primary Care Medicine, Chapter 19
Evaluation of Hypertension. 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 3-5
4. Kaplan NM.
Clinical hypertension, 5th ed. Baltimore: Williams & Wilkins 1990:57
5. Ugajin T. et
al, White-coat Hypertension as a risk factor for the development of home
hypertension: Ohasama Study. 2005. Pubmed. Available online at 16009871 (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 16009871.1)(PubMed ID)
6. Briasoulis A. et al, 2016. Journal of
Hypertension. White-coat hypertension and cardiovascularevents: a
meta-analysis. PubMed. Available on 26734955 (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26734955.1)
7. Kaya Z. et
al., Journal of American College of Cardiology. White coat hypertension and
poor sleep quality. 2013. Elsevier. p:C87
8. David S.J. Dilemmas in diagnosing and managing
hypertension: is white coat hypertension benign?. Canadian journal of
cardiology. 2015. Available on http://dx.doi.org/10.1016/j.cjca.2015.02.031
9. Gelfer et al. White Coat Hypertension: What does
it mean and what should we do until we are sure?. Canadian journal of
cardiology. Elsevier. 2016. P1-3.
Pickering et al.
American Heart Association. Call to Action on Use and Reimbursement for Home
Blood Pressure Monitoring. 2008. Ahajournals. p1-21. Available on http://www.hyper.ahajournals.org
Komentar
Posting Komentar